Senin, 07 Oktober 2013

Teori Konstruktivisme

BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam minda manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama dipraktikkan dalam kaedah pengajaran dan pembelajaran di peringkat sekolah, dan universiti tetapi tidak begitu kentara dan tidak ditekankan.
Menurut paham dari aliran konstruktivisme, ilmu pengetahuan sekolah tidak boleh dipindahkan dari guru kepada siswa/anak didik dalam bentuk yang serba sempurna. Murid perlu diberi binaan tentang pengetahuan menurut pengalaman masing – masing.
Pembelajaran dalam konteks Konstruktivisme merupakan hasil dari usaha murid itu sendiri dan guru tidak boleh belajar untuk murid sesuai dengan prinsip Student centered bukan teacher centered. Blok binaan asas bagi ilmu pengetahuan sekolah ialah satu skema yaitu suatu aktifitas mental yang digunakan oleh murid sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan dalam proses pemikiran anak. Pikiran murid tidak akan menghadapi suatu realitas yang berwujud secara terasing dalam lingkungan sekitar.
Kenyataan yang diketahui murid adalah realitas yang dia bina sendiri. Murid sebenarnya telah mempunyai satu set ide dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap kelanjutan pola pengetahuan dan pemikiran mereka.Untuk membantu murid membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus mengambil struktur kognitif yang sedia ada pada mereka. Apabila istilah baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian dari pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina. Hal inilah yang biasa dinamakan dengan konstruktivisme.
2.      Rumusan Masaalah
*      Apa itu teori konstruktivisme.?
*      Bagaimana cara menerapkan teori konstruktivisme dalam pembelajaran.?
*      Bagaimana cara penerapan teori konstruktivisme dalam kurikulum.?
*      Apa tujuan teori konstruktivisme dalam pembelajaran.?
*      Bagaimana sistem assesmen dalam pembelajaran.?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Teori Konstruktivisme
Terminologi ”konstruktivisme” telah merebak dalam dunia pendidikan. Merebaknya istilah ”konstruktivisme’ itu sejalan dengan kebingungan kita khususnya dalam menerapkan pada tataran praktis dunia pendidikan. Menurut Brooks & Brooks (1993) konstruktivisme adalah lebih merupakan suatu filosofi dan suatu strategi pembelajaran. ”Constructivism is an instructional strategy to be deployed under appropriate conditions. Rather, constructivism is an underlying philosophy or way of seeing the world”. Bahkan menurut Glasersfeld (1987) konstruktivisme sebagai "teori pengetahuan dengan akar dalam “filosofi, psikologi dan cybernetics". Von Glasersfeld mendefinisikan konstruktivisme radikal selalu membentuk konsepsi pengetahuan. Ia melihat pengetahuan sebagai sesuatu hal yang dengan aktif menerima yang apapun melalui pikiran sehat atau melalui komunikasi.
Hal ini berbeda dengan pandangan kaum objektivis bahwa pengetahuan adalah stabil sebab kekayaan esensial objek pengetahuan dan secara relatif tak berubah-ubah. Dengan demikian secara metafisik kaum objektivis berasumsi bahwa dunia adalah riil, hal itu adalah tersusun, dan bahwa struktur itu dapat dimodelkan untuk siswa. Objektivisme masih meyakini bahwa tujuan pikiran adalah untuk "cermin" bahwa kenyataan dan strukturnya itu melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan decomposable (tidak dapat diubah). Maksudnya bahwa hal itu diproduksi oleh proses berpikir yang di luar si pembelajar, dan ditentukan oleh struktur dunia nyata (Murphy, 1997: 28).
Dengan demikian ruang lingkup epistemologi konstruktivisme secara jelas begitu luas dan sulit untuk dinamai. Tergantung pada siapa yang kita baca, kita boleh mendapatkan sesuatu penafsiran yang sedikit berbeda. Namun demikian, banyak para penulis, pendidik dan peneliti nampak memiliki persetujuan tentang bagaimana epistemologi konstruktivisme ini seharusnya dapat mempengaruhi belajar dan praktek pendidikan. Bagian yang berikut ini mengingatkan kita, apa makna konstruktivisme untuk belajar. Hal itu penting untuk suatu pertimbangan jika kita mengambil suatu bentuk aktivitas tertentu maka disamping memberikan dalam aspek keingintahuan sebagai bagian nafsu akademis juga tidak kalah pentingnya memahami makna yang terkandung dalam upaya perbaikan suatu sistem pembelajaran yang memberikan sesuatu yang lebih bermanfaat, terpadu, dan meyakinkan sebagai alternatif pendekatan pembelajaran yang lebih baik.
Dalam perkembangannya, konstruktivisme memang banyak digunakan dalam pendekatan-pendekatan pembelajaran. Konstruktivisme pada dasarnya adalah suatu pandangan yang didasarkan pada aktivitas siswa  untuk menciptakan, menginterpretasikan, dan mengorganisasikan pengetahuan dengan jalan individual (Windschitl, dalam Abbeduto, 2004). Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Schwandt (1994) bahwa konstruktivisme adalah seperti interpretivis dan konstruktivis. Hal ini sejalan pula dengan pendapat von Glaserfeld (1987) bahwa pengetahuan bukanlah suatu komunikasi dan komoditas dapat dipindahkan dan tak satu pengantar-pun itu ada.
Dengan demikian salah satu pengajaran dan pembelajaran yang boleh digunakan ialah teori pembelajaran konstruktivisme. Pembelajaran secara konstruktivisme adalah satu pandangan baru tentang ilmu pengetahuan. Pembentukan pengetahuan baru tersebut lahir dari pada gabungan pembelajaran yang terdahulu dengan persekitaran semasa. 
Jadi Teori Konstruktivisme dapat  didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.

Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1.      Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2.      Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3.      Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4.      Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5.      Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6.      Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian dari teori kognitif juga. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensorik dan motorik anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132). Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan.

B.      Cheklist dan Penerapan Teori Konstruktivisme Dalam Pembelajaran

Konstruktivisme adalah suatu teori pengetahuan dengan akar filosofi, psikologi dan cybernetics. seperti itu adalah definisi yang disajikan oleh ahli teori tokoh konstruktivis, von Glasersfeld (1989). Bagaimana cara teori pengetahuan ini diterjemahkan ke dalam praktek? Bagaimana cara definisi dari apa yang berarti untuk "membangun pengetahuan" menginformasikan tindakan kita sebagai pendidik, Sedangkan konstruktivisme dengan jelas memperoleh popularitas sebagai paradigma baru untuk belajar, banyak pertanyaan bagaimana filosofi dapat diterapkan. Mereka membantah bahwa hal itu tidak akan menghasilkan suatu metode, pendekatan atau ilmu pedagogi tertentu.
Daftar cheklist yang berikut ini dirancang untuk melayani sebagai suatu instrumen sederhana untuk observasi dari beberapa cara di mana dalam karakteristik konstruktivis ini menyajikan dalam belajar proyek, aktivitas dan lingkungan. Observasi perlu memberikan wawasan yang mendalam sebagai jalan dalam filsafat konstruktivis untuk diterjemahkan ke dalam praktik. Daftar cheklist hanya akan diberlakukan bagi proyek, aktivitas dan belajar yang lingkungan diperkenalkan yang online. Karena alasan ini, maka tergantung pada bagaimana proyek itu diuraikan, mungkin tidak selalu baik untuk mengamati semua karakteristik. Banyak kemungkinannya akan lebih jelas jika dalam situasi kelas yang nyata. Juga, proyek tertentu boleh menekankan lebih sedikit karakteristik yang tergantung pada guru dan kelompok para siswa. Karena ini memberi alasan, daftar chekklist melayani suatu tujuan terbatas. Meskipun begitu, itu perlu memberikan beberapa pemahaman yang mendalam ke dalam bagaimana konsep konstruktivisme bisa diterapkan dalam suatu seting pembelajaran yang sebenarnya.
Belakangan ini secara meningkat, peneliti maupun pendidik sedang menghubungkan konstruktivisme, teknologi dan belajar. Hal ini dianggap tidak mengejutkan karena banyak orang melihat lingkungan belajar yang berbasis-komputer mendukung kuat untuk prinsip filsafat konstruktivisme. Penggunaan   E-Mail maupun Internet secara luas dan mendalam dapat memberikan kesan umum, bahwa konteks dan autentik 'dunia' walaupun maya. Metode proyek yang berbasis-komputer dan lingkungan dapat membuat penggunaan parsial internet untuk memberikan para siswa dengan kekayaan belajar lingkungan dan alat-alat kognitif yang canggih.
Daftar cheklist menyajikan dalam bagian yang sebelumnya tentang karakteristik daftar situs atau prisip-prinsip belajar konstruktivis dan pengajaran. Karakteristik ini didasarkan pada konstruktivisme teori belajar dan epistemologi. Dalam bagian ini, daftar nama (cheklist) akan dapat diberlakukan bagi suatu seleksi proyek berbasis-komputer dan lingkungan yang manapun diuraikan on-line atau yang beroperasi lingkungan online. Proyek ini, aktivitas dan lingkungan mempunyai fakta umum bahwa mereka dilukiskan oleh kreator sebagai konstruktivis dan semua menyertakan beberapa bentuk teknologi elektronik.
Dalam metode proyek, aktivitas dan lingkungan diri mereka tidaklah dipandang dalam operasi. Daftar nama (cheklist) kemudian hanya diberlakukan bagi uraian proyek dan bukan untuk kenyataan, observasi personal. Tempat yang menguntungkan ini tidak membolehkan untuk observasi seperti fenomena guru maupun siswa, reaksi siswa kepada mereka dalam pengalaman belajar, kemajuan belajar siswa, dan banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi tingkat yang bermacam-macam karakteristik konstruktivisme bisa jadi dengan sukses diterapkan dalam suatu situasi belajar. Karena alasan ini, ada sejumlah pembatasan pada inkuiri di sini. Pada waktu yang sama, daftar nama (cheklist) memberikan suatu instrumen sederhana yang dapat melayani kedua-duanya yang bermakna bagi penerapan suatu proyek konstruktivis atau lingkungan yang bermakna dalam implementasi suatu proyek konstruktivis atau lingkungan dan suatu makna catatan secara singkat pengkarakteran suatu lingkungan. 

C.    Pinsip-prinsip dan Karaktersitik Pembelajaran Konstruktivisme
Belum banyak buku-buku yang beredar apalagi yang berbahasa Indonesia tentang pembelajaran konstruktivisme. Namun demikan kita dapat memperoleh beberapa sumber tentang pembelajaran konstruktivisme dari literatur asing baik dari buku-buku maupun internet. Seperti kita lihat dalam bagian penjelasan, Jacqueline Grennon Brooks dan Martin G. Brooks dalam The case for constructivist classrooms. (1993) menawarkan lima prinsip kunci konstruktivis teori belajar. Kita dapat menggunakan mereka untuk membimbing/memandu pada kajian struktur kurikulum dan perencanaan pelajaran. Menurutnya terdapat lima panduan prinsip konstruktivisme:
Prinsip 1: Permasalahan yang muncul sebagai hal yang relevan dengan siswa
Dalam banyak contoh, masalah style kita mengajar mungkin akan menjadi relevan dengan selera untuk para siswa, dan mereka akan mendekatinya, merasakan keterkaitannya kepada kehidupan mereka. Keterkaitan dapat muncul melalui mediasi kita sebagai guru. Para guru dapat menambahkan unsur-unsur untuk belajar membuat aktivitas yang relevan kepada para siswa.

Prinsip 2: Struktur belajar di sekitar konsep-konsep utama
Mendorong para siswa untuk membuat makna dari bagian-bagian yang menyeluruh/utuh ke dalam bagian-bagian yang terpisah-pisah. Hindari mulai dengan bagian-bagian dahulu untuk membangun kemudian sesuatu yang "menyeluruh/utuh."
Kita menyiapkan para siswa untuk menulis cerita mereka sendiri, dan memperkenalkan gagasan untuk melalui visual. Para siswa dapat menyusun kembali bagian-bagian dari suatu cerita bahkan materi video digitisasi. Aktivitas terakhir mungkin mengijinkan para siswa untuk merekonstruksi cerita bagaimana ketika membayangkan kunjungan mereka ke tempat-tempat teman sebaya yang ada di kota-kota besar di luar Jakarta itu.

Prinsip 3: Carikan dan hargai poin-poin pandangan siswa sebagai jendela memberi alasan mereka.
Tantangan gagasan dan pencarian elaborasi yang tepat ditangkap siswa, sering mengancam banyak siswa. Maksudnya adalah bahwa sering para siswa di dalam kelas yang secara tradisional mereka tidak bisa menduga serta menghubungkan apa yang guru maksudkan untuk jawaban yang benar dan cepat, agar ia tidak berada di luar topik dari diskusi kelas yang diadakan. Mereka harus betul-betul "masuk" dan ”sibuk” ikut mengkaji tugas-tugas dalam belajar sebagai konstruktivis lingkungan melalui petanyaan-pertanyaan, sanggahan, ataupun jawaban yang diajukan.
Para siswa juga harus mempunyai suatu kesempatan untuk mengelaborasi, merinci dan menjelaskan. Kadang-kadang, perasaan kita terlibat dalam, atau apa yang siswa pikirkan dan kemukakan mereka bukanlah hal yang penting. Hal ini adalah anggapan yang keliru, karena itu jika siswa memulai dengan konsep yang tidak/kurang jelas maka dapat dilacak dengan peranyaan-peranyaan seperti; “mengapa”?, dan “bagaimana”?. Gunakan jawaban siswa itu untuk mengarah kepada adanya evidensi-evidensi yang kuat sehingga dapat mengokohkan validitas jawaban siswa tersebut. Sebab dalam belajar konstruktivisme pengetahuan menuntut tidak hanya waktu untuk mencerminkan atau menguaraikan tetapi juga untuk waktu praktik menjelaskan. Dengan demikian kedudukan dan peranan demonstrasi, siswa tidak hanya dituntut dalam pengembangan fluency-nya saja melainkan terhindar dari situasi dan kondisi yang dapat menimbulkan verbalisme.
Prinsip 4. Sesuaikan pembelajaran dengan perkiraan menuju pengembangan siswa.
Memperkenalkan topik kajian pengembangan dengan tepat atau sesuai, adalah suatu awal yang baik untuk dapat dipahami pengembangan konsep berikutnya. Kebanyakan sekolah menengah para siswa akan temukan persiapan suatu naskah film atau suatu ringkasan tentang keaneka ragaman suku bangsa dan budaya Indonesia. Ketika para siswa terlibat dalam pembahasan topik, kita harus memonitor jalannya dan proses pengembangan persepsi mereka dalam belajar.

D.    Penerapan Dalam Kurikulum

Dalam dokumen kebijakan umum KBK (Depdiknas, 2001) dijelaskan bahwa salah satu prinsip pengembangan dan penerapan KBK adalah berpusat pada anak sebagai pembangun pengetahuan. Prinsip ini jelas merupakan aplikasi pandangan konstruktivisme dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran berbasis kompetensi. Karena itu, penerapan pendekatan konstruktivisme ini tampaknya perlu dikuasai oleh guru dan praktisi pendidikan di daerah yang akan mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik daerah, sekolah, kelas, dan kebutuhan siswa masing-masing.
Prinsip-prinsip berikut perlu diperhatikan oleh guru dalam pengembangan dan pelaksanaan KBK di sekolah, yaitu: pengetahuan  dibangun siswa secara aktif, tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa, mengajar adalah membantu siswa belajar, tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil akhir semata, kurikulum menekankan partisipasi siswa, dan guru adalah fasilitator (Suparno, 1997).
Dalam pengembangan teori kontruktivisme dalam kurikulum yaitu guru membentuk silabus, guru perlu bekerja sama dengan ahli bidang studi dan pendidikan atau ahli pendidikan bidang studi dan seluruh kelompok guru lainya dalam menginterpretasi makna, ruang lingkup, dan tujuan KBK. mengenali sumber-sumber belajar yang dapat dikembangkan di sekolah atau di suatu daerah tertentu yang dapat digunakan bersama mengenali muatan materi lokal yang dapat diintegrasikan dalam KBK, dan mengenali latar belakang, karakteristik, minat, dan kebutuhan siswa. Kerja sama ini dengan didukung oleh semua unsur terkait seperti dinas propinsi, dinas kabupaten, komite sekolah, kepala sekolah, dan LPTK, dapat digunakan untuk pengembangan silabus, pengembangan sumber dan media pembelajaran, pengembangan strategi belajar dan pembelajaran, serta pengembangan teknik dan instrumen penilaian. 
Guru dan siswa, selanjutnya, bersama dengan pakar pendidikan bidang studi dengan masih didukung oleh seluruh unsur terkait membuat komitmen bersama untuk melaksanakan dan melakukan uji coba kurikulum yang telah dikembangkan ke dalam proses pembelajaran konstruktivisme di kelas. Dalam hal ini pendekatan pembelajaran kontruktivisme sosial dapat dijadikan landasan pengembangan pembelajaran, baik dalam belajar pengetahuan sosial yang lebih bersifat teoritis maupun dalam praktik belajar pengetahuan sosial walaupun sesungguhnya hal ini tidak perlu dibedakan. Pengembangan belajar secar mandiri, partisipatif, dan kooperatif mutlak diperlukan dalam penerapan kurikulum konstruktivisme berbasis kompetensi. Ini bukanlah selektif sifatnya, melainkan wajib.
Dalam proses pembelajaran prinsip-prinsip pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme sosial berikut perlu dilakukan, antara lain:
a)      Perlunya menciptakan situasi yang aktif terkait dengan tujuan-tujuan siswa;
b)      Memajukan interaksi sosial yang berpusat pada aktivitas akademis;
c)       Membangkitkan kebutuhan siswa untuk berkomunikasi dan keinginan untuk berkolaborasi;
d)     Mengembangkan aktivitas akademis dalam konteks moral;
e)      Mendorong penalaran siswa mulai dari apa yang diketahui siswa, menghormati kesalahan siswa, dan mengajar disesuaikan dengan jenis pengetahuan (fisik, logika, dan sosial) yang ingin dibangun dan dikembangkan; dan
f)       Berikan waktu yang cukup untuk proses konstruksi pengetahuan (DeVries dan Zan, 1994).
Sementara itu dalam praktik belajar pengetahuan dan mengintegrasikan model belajar mandiri, partisipatif dan kooperatif dalam langkah-langkah pembelajaran berbasis kebijakan publik dapat dilakukan, antara lain:
1)      Orientasi kebijakan publik;
2)      Mengidentifikasi masalah-masalah sosial di lingkungan sekitar;
3)      Menggali informasi dari berbagai sumber belajar;
4)      Mengembangkan alternatif kebijakan;
5)      Mengusulkan  kebijakan kelas;
6)      Mengembangkan rencana tindakan;
7)      Mengembangkan portofolio kelas dan dokumentasinya;
8)      Presentasi portofolio; dan
9)      Melakukan refleksi pengalaman belajar (Sukadi, 2002, 2003).

E.     Tujuan Dalam Pembelajaran
Adapun tujuan dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut:
1)      Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi,
2)      Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan,
3)      Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Berdasarkan hasil analisis Akhmad Sudrajat terhadap sejumlah kriteria dan pendapat sejumlah ahli, Widodo, (2004) menyimpulkan tentang tujuan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu:
1.      Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.

2.      Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari kehidupan sehari-hari, dan juga penerapan konsep.

3.      Adanya lingkungan sosial yang kondusif
Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.

4.      Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan belajarnya.
5.      Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.
Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.

F.     Sistem Assesment
Authentic assessment yakni suatu penilaian yang betul-betul menilai apa yang terjadi sesungguhnya secara alami, tidak diwarnai oleh preseden penilaian sebelumnya, melainkan suatu assessment di suatu konteks yang penuh arti ketika berhubungan dengan permasalahan dan perhatian asli yang dihadapi oleh para siswa.
Selanjutnya penilaian belajar berbasis konstruktivisme dapat dilakukan dengan pendekatan proses dan hasil belajar. Penilaian terhadap proses belajar dapat dilakukan dengan teknik-teknik dan instrumen seperti observasi dengan pedoman dan catatan peristiwa dan catatan anekdotnya, wawancara dengan pedoman wawancaranya, pemberian kueasioner, pemberian inventori nilai dan skala sikap, daftar bakat dan minat, sosiometri dengan sosiogramnya, dan penilaian proses berbasis portofolio. Sementara penilaian hasil belajar juga dapat dilakukan dengan wawancara/tes lisan, tes essay, kuesioner, inventori nilai, skala sikap, tes objektif, dan penilaian hasil berbasis portofolio.
Prinsip-prinsip tersebut pada dasarnya dapat diterapkan pada semua jenjang dan langkah-langkah belajar. Namun demikian, seperti biasanya kita bekerja dengan gagasan untuk konstruktivisme belajar yang begitu luas, kita dapat saja mengembangkan versi pribadi sedikit berbeda mungkin dikelaborasi bahkan disederhanakan dari prinsip-prinsip di atas. Oleh karena itu khasanah teori konstruktivisme betul-betul sangat beragam. Derry dalam karyanya Constructivism in education (1996) ia istilahkan sebagai "etnosentris dalam berbagai konstruktivisme". Dalam hal yang serupa, Ernest dalam Constructivism in education (1995) mencatat bahwa terdapat tujuh paradigma konstruktivisme, posisinya adalah semua varian tentang konstruktivisme adalah radikal. Pertimbangan yang penting bagaimanapun berhubungan dengan kebutuhan sebagai Ernst lihat "untuk mengakomodasi komplementaritas antara konstruksi individu dan interaksi sosial" (Ernest, 1995: 483). Selanjutnya Jonassen (1991: 11-12) mencatat bahwa banyak pendidik dan ahli psikologi kognitif sudah menerapkan konstructivisme untuk mengembangkan pelajaran lingkungan.



BAB  III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Pembelajaran yang berhaluan pada pandangan Konstruktivisme menjadikan anak didik sebagai objek pembelajaran aktif dan lebih berkembang dalam penambahan  pengatahuan pada anak.
Hal tersebut di atas dapat kita sadari karena dunia anak sebagaimana dicetuskan salah satu tokoh pendidikan anak “play is children’s work”, guru secara alamiah akan ikut terhanyut dalam suasana bermain anak. Materi pembelajaranpun harus disesuaikan dengan kondisi anak bukanlah prinsip tabularasa yang memandang anak sebagai objek kosong belaka.
Kurikulum Pendidikan di Indonesia rupaya sudah mulai dapat beradaptasi dengan keadaan ini untuk mengembangkan dan mempraktekkan teori yang berhaluan pada anak didik walaupun pada kenyataan di lapangan, teori ini kurang berhasil untuk dilaksanakan, terutama untuk menyesuaikan keadaan fisik dan pengetahuan serta media yang sesuai dengan prinsip ini.
Pemerintah melalui lembaga yang menaungi bidang pendidikan harus mulai terbuka dengan keadaan yang terjadi saat ini. Dengan KTSPnya tidaklah dapat dilaksanakan amanah yang berat kepada guru sebagai pelaksana pembelajaran yang secara langsung bertatap muka dengan anak didik.
Dengan memperhatikan sarana dan prasarana yang memadai proses pembelajaran akan berhasil tentunya dengan dukungan dari berbagai pihak demi tercapainya cita – cita pendidikan yang luhur
B.    Saran
Adapun saran saya sebagai penyusun makalah ini adalah marilah kita bersama-sama mempelajari lebih dalam lagi terkait dengan belajar dan pembelajaran terutama pada teori konstruktivisme sehingga pada nantinya kita dapat memiliki suatu keterampilan yang dapat menjadi pegangan kita nanti, apalagi kita sebagai mahasiswa geografi yang besiknya pendidikan, agar kita tidak sulit dalam proses belajar dan mengajar.


DAFTAR PUSTAKA

Campbell, Linda. “Metode Praktis Pembelajaran-Berbasis Multiple Intelligences.” Jakarta: Intuisi Press. 2005
De Porter, Bobbi dkk. “Quantum Teaching.” Bandung: Yayasan Kaifa. 2007
Mukhtar dkk. ” Metode Pembelajaran Yang Berhasil.” Jakarta: CV. Sasama Mitra Suksesa. 2002
Purwanto, Ngalim. “Ilmu Pendidikan – Teoritis dan Praktis.” Bandung: Remaja Rosdakarya. 1995
Rose, Collin dkk. “Accelerated Learning – for 21st Century.” London: Judy Piatkus Press. 1997
Trianto. “Model – Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.” Jakarta: Prestasi Pustaka. 2007