Teori Konstruktivisme
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang
menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam minda manusia. Unsur-unsur
konstruktivisme telah lama dipraktikkan dalam kaedah pengajaran dan
pembelajaran di peringkat sekolah, dan universiti tetapi tidak begitu kentara dan tidak ditekankan.
Menurut paham dari aliran konstruktivisme, ilmu
pengetahuan sekolah tidak boleh dipindahkan dari guru kepada siswa/anak didik
dalam bentuk yang serba sempurna. Murid perlu diberi binaan tentang pengetahuan
menurut pengalaman masing – masing.
Pembelajaran dalam konteks Konstruktivisme merupakan
hasil dari usaha murid itu sendiri dan guru tidak boleh belajar untuk murid
sesuai dengan prinsip Student centered bukan teacher centered. Blok binaan asas
bagi ilmu pengetahuan sekolah ialah satu skema yaitu suatu aktifitas mental
yang digunakan oleh murid sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan
pengabstrakan dalam proses pemikiran anak. Pikiran murid tidak akan menghadapi
suatu realitas yang berwujud secara terasing dalam lingkungan sekitar.
Kenyataan yang diketahui murid adalah realitas yang
dia bina sendiri. Murid sebenarnya telah mempunyai satu set ide dan pengalaman
yang membentuk struktur kognitif terhadap kelanjutan pola pengetahuan dan
pemikiran mereka.Untuk membantu murid membina konsep atau pengetahuan baru,
guru harus mengambil struktur kognitif yang sedia ada pada mereka. Apabila istilah
baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian dari pegangan kuat
mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat
dibina. Hal inilah yang biasa dinamakan dengan konstruktivisme.
2. Rumusan
Masaalah
Apa itu
teori konstruktivisme.?
Bagaimana
cara menerapkan teori konstruktivisme dalam pembelajaran.?
Bagaimana
cara penerapan teori konstruktivisme dalam kurikulum.?
Apa tujuan
teori konstruktivisme dalam pembelajaran.?
Bagaimana
sistem assesmen dalam pembelajaran.?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Teori Konstruktivisme
Terminologi ”konstruktivisme”
telah merebak dalam dunia pendidikan. Merebaknya istilah ”konstruktivisme’ itu
sejalan dengan kebingungan kita khususnya dalam menerapkan pada tataran praktis
dunia pendidikan. Menurut Brooks & Brooks (1993) konstruktivisme adalah
lebih merupakan suatu filosofi dan suatu strategi pembelajaran. ”Constructivism
is an instructional strategy to be deployed under appropriate conditions.
Rather, constructivism is an underlying philosophy or way of seeing the world”.
Bahkan menurut Glasersfeld (1987) konstruktivisme sebagai "teori
pengetahuan dengan akar dalam “filosofi, psikologi dan cybernetics".
Von Glasersfeld mendefinisikan konstruktivisme radikal selalu membentuk
konsepsi pengetahuan. Ia melihat pengetahuan sebagai sesuatu hal yang dengan
aktif menerima yang apapun melalui pikiran sehat atau melalui komunikasi.
Hal ini berbeda dengan
pandangan kaum objektivis bahwa pengetahuan adalah stabil sebab kekayaan
esensial objek pengetahuan dan secara relatif tak berubah-ubah. Dengan demikian
secara metafisik kaum objektivis berasumsi bahwa dunia adalah riil, hal itu
adalah tersusun, dan bahwa struktur itu dapat dimodelkan untuk siswa.
Objektivisme masih meyakini bahwa tujuan pikiran adalah untuk
"cermin" bahwa kenyataan dan strukturnya itu melalui proses berpikir
yang dapat dianalisis dan decomposable (tidak dapat diubah). Maksudnya
bahwa hal itu diproduksi oleh proses berpikir yang di luar si pembelajar, dan
ditentukan oleh struktur dunia nyata (Murphy, 1997: 28).
Dengan demikian ruang lingkup
epistemologi konstruktivisme secara jelas begitu luas dan sulit untuk dinamai.
Tergantung pada siapa yang kita baca, kita boleh mendapatkan sesuatu penafsiran
yang sedikit berbeda. Namun demikian, banyak para penulis, pendidik dan
peneliti nampak memiliki persetujuan tentang bagaimana epistemologi
konstruktivisme ini seharusnya dapat mempengaruhi belajar dan praktek
pendidikan. Bagian yang berikut ini mengingatkan kita, apa makna
konstruktivisme untuk belajar. Hal itu penting untuk suatu pertimbangan jika
kita mengambil suatu bentuk aktivitas tertentu maka disamping memberikan dalam
aspek keingintahuan sebagai bagian nafsu akademis juga tidak kalah pentingnya
memahami makna yang terkandung dalam upaya perbaikan suatu sistem pembelajaran
yang memberikan sesuatu yang lebih bermanfaat, terpadu, dan meyakinkan sebagai
alternatif pendekatan pembelajaran yang lebih baik.
Dalam perkembangannya,
konstruktivisme memang banyak digunakan dalam pendekatan-pendekatan
pembelajaran. Konstruktivisme pada dasarnya adalah suatu pandangan yang
didasarkan pada aktivitas siswa untuk menciptakan, menginterpretasikan,
dan mengorganisasikan pengetahuan dengan jalan individual (Windschitl, dalam
Abbeduto, 2004). Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Schwandt (1994) bahwa
konstruktivisme adalah seperti interpretivis dan konstruktivis. Hal ini sejalan
pula dengan pendapat von Glaserfeld (1987) bahwa pengetahuan bukanlah suatu
komunikasi dan komoditas dapat dipindahkan dan tak satu pengantar-pun itu ada.
Dengan demikian salah satu
pengajaran dan pembelajaran yang boleh digunakan ialah teori pembelajaran
konstruktivisme. Pembelajaran secara konstruktivisme adalah satu pandangan baru
tentang ilmu pengetahuan. Pembentukan pengetahuan baru tersebut lahir dari pada
gabungan pembelajaran yang terdahulu dengan persekitaran semasa.
Jadi Teori
Konstruktivisme dapat didefinisikan
sebagai pembelajaran
yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang
dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan
yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan
dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan
dan menjadi lebih dinamis.
Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep
umum seperti:
2.
Dalam
konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3.
Pentingnya
membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling
memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4.
Unsur terpenting
dalam teori
ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara
membandingkan informasi
baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5.
Ketidakseimbangan
merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila
seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan
pengetahuan ilmiah.
6.
Bahan
pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar
untuk menarik minat pelajar.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori
belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget yang merupakan
bagian dari teori kognitif juga. Teori ini biasa juga disebut teori
perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar
tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap
perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan
intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam
mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensorik dan motorik anak
berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132). Selanjutnya,
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan
bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau
pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan.
B. Cheklist
dan Penerapan
Teori Konstruktivisme Dalam Pembelajaran
Konstruktivisme adalah suatu
teori pengetahuan dengan akar filosofi, psikologi dan cybernetics. seperti itu
adalah definisi yang disajikan oleh ahli teori tokoh konstruktivis, von
Glasersfeld (1989). Bagaimana cara teori pengetahuan ini diterjemahkan ke dalam
praktek? Bagaimana cara definisi dari apa yang berarti untuk "membangun
pengetahuan" menginformasikan tindakan kita sebagai pendidik, Sedangkan
konstruktivisme dengan jelas memperoleh popularitas sebagai paradigma baru
untuk belajar, banyak pertanyaan bagaimana filosofi dapat diterapkan. Mereka
membantah bahwa hal itu tidak akan menghasilkan suatu metode, pendekatan atau
ilmu pedagogi tertentu.
Daftar cheklist yang
berikut ini dirancang untuk melayani sebagai suatu instrumen sederhana untuk
observasi dari beberapa cara di mana dalam karakteristik konstruktivis ini
menyajikan dalam belajar proyek, aktivitas dan lingkungan. Observasi perlu
memberikan wawasan yang mendalam sebagai jalan dalam filsafat konstruktivis
untuk diterjemahkan ke dalam praktik. Daftar cheklist hanya akan
diberlakukan bagi proyek, aktivitas dan belajar yang lingkungan diperkenalkan
yang online. Karena alasan ini, maka tergantung pada bagaimana proyek itu
diuraikan, mungkin tidak selalu baik untuk mengamati semua karakteristik.
Banyak kemungkinannya akan lebih jelas jika dalam situasi kelas yang nyata.
Juga, proyek tertentu boleh menekankan lebih sedikit karakteristik yang
tergantung pada guru dan kelompok para siswa. Karena ini memberi alasan, daftar
chekklist melayani suatu tujuan terbatas. Meskipun begitu, itu perlu memberikan
beberapa pemahaman yang mendalam ke dalam bagaimana konsep konstruktivisme bisa
diterapkan dalam suatu seting pembelajaran yang sebenarnya.
Belakangan ini secara
meningkat, peneliti maupun pendidik sedang menghubungkan konstruktivisme,
teknologi dan belajar. Hal ini dianggap tidak mengejutkan karena banyak orang
melihat lingkungan belajar yang berbasis-komputer mendukung kuat untuk prinsip
filsafat konstruktivisme. Penggunaan E-Mail maupun Internet secara
luas dan mendalam dapat memberikan kesan umum, bahwa konteks dan autentik 'dunia'
walaupun maya. Metode proyek yang berbasis-komputer dan lingkungan dapat
membuat penggunaan parsial internet untuk memberikan para siswa dengan kekayaan
belajar lingkungan dan alat-alat kognitif yang canggih.
Daftar cheklist menyajikan
dalam bagian yang sebelumnya tentang karakteristik daftar situs atau
prisip-prinsip belajar konstruktivis dan pengajaran. Karakteristik ini
didasarkan pada konstruktivisme teori belajar dan epistemologi. Dalam bagian
ini, daftar nama (cheklist) akan dapat diberlakukan bagi suatu seleksi proyek
berbasis-komputer dan lingkungan yang manapun diuraikan on-line atau yang
beroperasi lingkungan online. Proyek ini, aktivitas dan lingkungan mempunyai
fakta umum bahwa mereka dilukiskan oleh kreator sebagai konstruktivis dan semua
menyertakan beberapa bentuk teknologi elektronik.
Dalam metode proyek, aktivitas
dan lingkungan diri mereka tidaklah dipandang dalam operasi. Daftar nama
(cheklist) kemudian hanya diberlakukan bagi uraian proyek dan bukan untuk
kenyataan, observasi personal. Tempat yang menguntungkan ini tidak membolehkan
untuk observasi seperti fenomena guru maupun siswa, reaksi siswa kepada mereka
dalam pengalaman belajar, kemajuan belajar siswa, dan banyak faktor lain yang
mungkin mempengaruhi tingkat yang bermacam-macam karakteristik konstruktivisme
bisa jadi dengan sukses diterapkan dalam suatu situasi belajar. Karena alasan
ini, ada sejumlah pembatasan pada inkuiri di sini. Pada waktu yang sama, daftar
nama (cheklist) memberikan suatu instrumen sederhana yang dapat melayani
kedua-duanya yang bermakna bagi penerapan suatu proyek konstruktivis atau
lingkungan yang bermakna dalam implementasi suatu proyek konstruktivis atau
lingkungan dan suatu makna catatan secara singkat pengkarakteran suatu
lingkungan.
C. Pinsip-prinsip dan Karaktersitik Pembelajaran Konstruktivisme
Belum banyak buku-buku yang
beredar apalagi yang berbahasa Indonesia tentang pembelajaran konstruktivisme.
Namun demikan kita dapat memperoleh beberapa sumber tentang pembelajaran
konstruktivisme dari literatur asing baik dari buku-buku maupun internet.
Seperti kita lihat dalam bagian penjelasan, Jacqueline Grennon Brooks dan
Martin G. Brooks dalam The case for constructivist classrooms. (1993)
menawarkan lima prinsip kunci konstruktivis teori belajar. Kita dapat menggunakan
mereka untuk membimbing/memandu pada kajian struktur kurikulum dan perencanaan
pelajaran. Menurutnya terdapat lima panduan prinsip konstruktivisme:
Prinsip 1: Permasalahan yang
muncul sebagai hal yang relevan dengan siswa
Dalam banyak contoh, masalah
style kita mengajar mungkin akan menjadi relevan dengan selera untuk
para siswa, dan mereka akan mendekatinya, merasakan keterkaitannya kepada
kehidupan mereka. Keterkaitan dapat muncul melalui mediasi kita sebagai guru.
Para guru dapat menambahkan unsur-unsur untuk belajar membuat aktivitas yang
relevan kepada para siswa.
Prinsip 2: Struktur belajar di
sekitar konsep-konsep utama
Mendorong para siswa untuk
membuat makna dari bagian-bagian yang menyeluruh/utuh ke dalam bagian-bagian
yang terpisah-pisah. Hindari mulai dengan bagian-bagian dahulu untuk membangun
kemudian sesuatu yang "menyeluruh/utuh."
Kita menyiapkan para siswa
untuk menulis cerita mereka sendiri, dan memperkenalkan gagasan untuk melalui
visual. Para siswa dapat menyusun kembali bagian-bagian dari suatu cerita
bahkan materi video digitisasi. Aktivitas terakhir mungkin mengijinkan para
siswa untuk merekonstruksi cerita bagaimana ketika membayangkan kunjungan
mereka ke tempat-tempat teman sebaya yang ada di kota-kota besar di luar Jakarta
itu.
Prinsip 3: Carikan dan hargai
poin-poin pandangan siswa sebagai jendela memberi alasan mereka.
Tantangan gagasan dan
pencarian elaborasi yang tepat ditangkap siswa, sering mengancam banyak siswa.
Maksudnya adalah bahwa sering para siswa di dalam kelas yang secara tradisional
mereka tidak bisa menduga serta menghubungkan apa yang guru maksudkan untuk
jawaban yang benar dan cepat, agar ia tidak berada di luar topik dari diskusi
kelas yang diadakan. Mereka harus betul-betul "masuk" dan ”sibuk”
ikut mengkaji tugas-tugas dalam belajar sebagai konstruktivis lingkungan
melalui petanyaan-pertanyaan, sanggahan, ataupun jawaban yang diajukan.
Para siswa juga harus
mempunyai suatu kesempatan untuk mengelaborasi, merinci dan menjelaskan.
Kadang-kadang, perasaan kita terlibat dalam, atau apa yang siswa pikirkan dan
kemukakan mereka bukanlah hal yang penting. Hal ini adalah anggapan yang
keliru, karena itu jika siswa memulai dengan konsep yang tidak/kurang jelas
maka dapat dilacak dengan peranyaan-peranyaan seperti; “mengapa”?, dan
“bagaimana”?. Gunakan jawaban siswa itu untuk mengarah kepada adanya
evidensi-evidensi yang kuat sehingga dapat mengokohkan validitas jawaban siswa
tersebut. Sebab dalam belajar konstruktivisme pengetahuan menuntut tidak hanya
waktu untuk mencerminkan atau menguaraikan tetapi juga untuk waktu praktik
menjelaskan. Dengan demikian kedudukan dan peranan demonstrasi, siswa tidak
hanya dituntut dalam pengembangan fluency-nya saja melainkan terhindar dari
situasi dan kondisi yang dapat menimbulkan verbalisme.
Prinsip 4. Sesuaikan
pembelajaran dengan perkiraan menuju pengembangan siswa.
Memperkenalkan topik kajian
pengembangan dengan tepat atau sesuai, adalah suatu awal yang baik untuk dapat
dipahami pengembangan konsep berikutnya. Kebanyakan sekolah menengah para siswa
akan temukan persiapan suatu naskah film atau suatu ringkasan tentang keaneka
ragaman suku bangsa dan budaya Indonesia. Ketika para siswa terlibat dalam
pembahasan topik, kita harus memonitor jalannya dan proses pengembangan persepsi
mereka dalam belajar.
D. Penerapan Dalam Kurikulum
Dalam dokumen kebijakan umum KBK (Depdiknas, 2001) dijelaskan bahwa salah
satu prinsip pengembangan dan penerapan KBK adalah berpusat pada anak sebagai
pembangun pengetahuan. Prinsip ini jelas merupakan aplikasi pandangan
konstruktivisme dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran berbasis
kompetensi. Karena itu, penerapan pendekatan konstruktivisme ini tampaknya
perlu dikuasai oleh guru dan praktisi pendidikan di daerah yang akan mengembangkan
dan melaksanakan kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik daerah,
sekolah, kelas, dan kebutuhan siswa masing-masing.
Prinsip-prinsip berikut perlu diperhatikan oleh guru dalam pengembangan dan
pelaksanaan KBK di sekolah, yaitu: pengetahuan dibangun siswa secara
aktif, tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa, mengajar adalah
membantu siswa belajar, tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan
bukan pada hasil akhir semata, kurikulum menekankan partisipasi siswa, dan guru
adalah fasilitator (Suparno, 1997).
Dalam pengembangan teori
kontruktivisme dalam kurikulum yaitu guru membentuk
silabus, guru perlu bekerja sama dengan ahli bidang studi dan pendidikan atau
ahli pendidikan bidang studi dan seluruh kelompok guru lainya dalam menginterpretasi makna, ruang lingkup, dan tujuan KBK. mengenali
sumber-sumber belajar yang dapat dikembangkan di sekolah atau di suatu daerah
tertentu yang dapat digunakan bersama mengenali muatan materi lokal yang dapat
diintegrasikan dalam KBK, dan mengenali
latar belakang, karakteristik, minat, dan kebutuhan siswa. Kerja sama ini
dengan didukung oleh semua unsur terkait seperti dinas propinsi, dinas
kabupaten, komite sekolah, kepala sekolah, dan LPTK, dapat digunakan untuk
pengembangan silabus, pengembangan sumber dan media pembelajaran, pengembangan
strategi belajar dan pembelajaran, serta pengembangan teknik dan instrumen
penilaian.
Guru dan siswa, selanjutnya, bersama dengan pakar pendidikan bidang studi
dengan masih didukung oleh seluruh unsur terkait membuat komitmen bersama untuk
melaksanakan dan melakukan uji coba kurikulum yang telah dikembangkan ke dalam
proses pembelajaran konstruktivisme di kelas.
Dalam hal ini pendekatan pembelajaran kontruktivisme sosial dapat dijadikan
landasan pengembangan pembelajaran, baik dalam belajar pengetahuan sosial yang
lebih bersifat teoritis maupun dalam praktik belajar pengetahuan sosial walaupun
sesungguhnya hal ini tidak perlu dibedakan. Pengembangan belajar secar mandiri,
partisipatif, dan kooperatif mutlak diperlukan dalam penerapan kurikulum konstruktivisme berbasis kompetensi. Ini bukanlah selektif sifatnya,
melainkan wajib.
Dalam proses pembelajaran prinsip-prinsip pembelajaran yang menerapkan
pendekatan konstruktivisme sosial berikut perlu dilakukan, antara lain:
a)
Perlunya
menciptakan situasi yang aktif terkait dengan tujuan-tujuan siswa;
b)
Memajukan
interaksi sosial yang berpusat pada aktivitas akademis;
c)
Membangkitkan
kebutuhan siswa untuk berkomunikasi dan keinginan untuk berkolaborasi;
d)
Mengembangkan
aktivitas akademis dalam konteks moral;
e)
Mendorong
penalaran siswa mulai dari apa yang diketahui siswa, menghormati kesalahan
siswa, dan mengajar disesuaikan
dengan jenis pengetahuan (fisik, logika, dan sosial) yang ingin dibangun dan
dikembangkan; dan
f)
Berikan
waktu yang cukup untuk proses konstruksi pengetahuan (DeVries dan Zan, 1994).
Sementara itu dalam praktik belajar pengetahuan dan mengintegrasikan
model belajar mandiri, partisipatif dan kooperatif dalam langkah-langkah
pembelajaran berbasis kebijakan publik dapat dilakukan, antara lain:
1)
Orientasi
kebijakan publik;
2)
Mengidentifikasi
masalah-masalah sosial di lingkungan sekitar;
3)
Menggali
informasi dari berbagai sumber belajar;
4)
Mengembangkan
alternatif kebijakan;
5)
Mengusulkan
kebijakan kelas;
6)
Mengembangkan
rencana tindakan;
7)
Mengembangkan
portofolio kelas dan dokumentasinya;
8)
Presentasi
portofolio; dan
9)
Melakukan
refleksi pengalaman belajar (Sukadi, 2002, 2003).
E. Tujuan Dalam Pembelajaran
Adapun tujuan dari teori
belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah
sebagai berikut:
1)
Tujuan
pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu
atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap
persoalan yang dihadapi,
2)
Kurikulum
dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu,
latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan,
3)
Peserta
didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan
teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi
pengetahuan pada diri peserta didik.
Berdasarkan hasil analisis Akhmad Sudrajat terhadap sejumlah kriteria dan
pendapat sejumlah ahli, Widodo, (2004) menyimpulkan tentang tujuan pembelajaran
yang konstruktivis, yaitu:
1. Memperhatikan dan memanfaatkan
pengetahuan awal siswa
Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan
memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu
pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan
teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.
2. Pengalaman
belajar yang autentik dan bermakna
Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian
rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan
belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan
melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk
mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari
kehidupan sehari-hari, dan juga penerapan konsep.
3. Adanya
lingkungan sosial yang kondusif
Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan
sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa
untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.
4. Adanya
dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya.
Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi
dan mengatur kegiatan belajarnya.
5. Adanya usaha
untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.
Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga
mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa
melatih dan memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.
F. Sistem Assesment
Authentic
assessment yakni suatu penilaian yang betul-betul menilai apa yang
terjadi sesungguhnya secara alami, tidak diwarnai oleh preseden penilaian
sebelumnya, melainkan suatu assessment di suatu konteks yang penuh arti ketika
berhubungan dengan permasalahan dan perhatian asli yang dihadapi oleh para
siswa.
Selanjutnya penilaian belajar berbasis konstruktivisme dapat dilakukan
dengan pendekatan proses dan hasil belajar. Penilaian terhadap proses belajar
dapat dilakukan dengan teknik-teknik dan instrumen seperti observasi dengan
pedoman dan catatan peristiwa dan catatan anekdotnya, wawancara dengan pedoman
wawancaranya, pemberian kueasioner, pemberian inventori nilai dan skala sikap,
daftar bakat dan minat, sosiometri dengan sosiogramnya, dan penilaian proses
berbasis portofolio. Sementara penilaian hasil belajar juga dapat dilakukan
dengan wawancara/tes lisan, tes essay, kuesioner, inventori nilai, skala sikap,
tes objektif, dan penilaian hasil berbasis portofolio.
Prinsip-prinsip
tersebut pada dasarnya dapat diterapkan pada semua jenjang dan langkah-langkah
belajar. Namun demikian, seperti biasanya kita bekerja
dengan gagasan untuk konstruktivisme belajar yang begitu luas, kita dapat saja
mengembangkan versi pribadi sedikit berbeda mungkin dikelaborasi
bahkan disederhanakan dari prinsip-prinsip di atas. Oleh karena itu khasanah
teori konstruktivisme betul-betul sangat beragam. Derry dalam karyanya Constructivism
in education (1996) ia istilahkan sebagai "etnosentris dalam berbagai
konstruktivisme". Dalam hal yang serupa, Ernest dalam Constructivism in
education (1995) mencatat bahwa terdapat tujuh paradigma konstruktivisme,
posisinya adalah semua varian tentang konstruktivisme adalah radikal.
Pertimbangan yang penting bagaimanapun berhubungan dengan kebutuhan sebagai
Ernst lihat "untuk mengakomodasi komplementaritas antara konstruksi
individu dan interaksi sosial" (Ernest, 1995: 483). Selanjutnya Jonassen
(1991: 11-12) mencatat bahwa banyak pendidik dan ahli psikologi kognitif sudah
menerapkan konstructivisme untuk mengembangkan pelajaran lingkungan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran yang berhaluan pada pandangan Konstruktivisme menjadikan anak
didik sebagai objek pembelajaran aktif dan lebih berkembang dalam
penambahan pengatahuan pada anak.
Hal tersebut di atas dapat kita sadari karena dunia anak sebagaimana
dicetuskan salah satu tokoh pendidikan anak “play is children’s work”, guru
secara alamiah akan ikut terhanyut dalam suasana bermain anak. Materi
pembelajaranpun harus disesuaikan dengan kondisi anak bukanlah prinsip
tabularasa yang memandang anak sebagai objek kosong belaka.
Kurikulum Pendidikan di Indonesia rupaya sudah mulai dapat beradaptasi
dengan keadaan ini untuk mengembangkan dan mempraktekkan teori yang berhaluan
pada anak didik walaupun pada kenyataan di lapangan, teori ini kurang berhasil
untuk dilaksanakan, terutama untuk menyesuaikan keadaan fisik dan pengetahuan
serta media yang sesuai dengan prinsip ini.
Pemerintah melalui lembaga yang menaungi bidang pendidikan harus mulai
terbuka dengan keadaan yang terjadi saat ini. Dengan KTSPnya tidaklah dapat
dilaksanakan amanah yang berat kepada guru sebagai pelaksana pembelajaran yang
secara langsung bertatap muka dengan anak didik.
Dengan memperhatikan sarana dan prasarana yang memadai proses pembelajaran
akan berhasil tentunya dengan dukungan dari berbagai pihak demi tercapainya
cita – cita pendidikan yang luhur
B.
Saran
Adapun saran saya sebagai
penyusun makalah ini adalah marilah kita bersama-sama mempelajari lebih dalam
lagi terkait dengan belajar dan pembelajaran terutama pada teori
konstruktivisme sehingga pada nantinya kita dapat memiliki suatu keterampilan
yang dapat menjadi pegangan kita nanti, apalagi kita sebagai mahasiswa geografi
yang besiknya pendidikan, agar kita tidak sulit dalam proses belajar dan
mengajar.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell,
Linda. “Metode Praktis Pembelajaran-Berbasis Multiple Intelligences.” Jakarta:
Intuisi Press. 2005
De Porter,
Bobbi dkk. “Quantum Teaching.” Bandung: Yayasan Kaifa. 2007
Mukhtar dkk.
” Metode Pembelajaran Yang Berhasil.” Jakarta: CV. Sasama Mitra Suksesa. 2002
Purwanto,
Ngalim. “Ilmu Pendidikan – Teoritis dan Praktis.” Bandung: Remaja Rosdakarya.
1995
Rose, Collin
dkk. “Accelerated Learning – for 21st Century.” London: Judy Piatkus
Press. 1997
Trianto. “Model
– Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.” Jakarta: Prestasi
Pustaka. 2007